Selasa, 28 Juni 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. R DENGAN MASALAH PREEKLAMSIA BERAT


BAB I
PENDAHULUAN


1.1      Latar Belakang
Di Indonesia Preeklampsia berat (PEB) merupakan salah satu penyebab utama kematian maternal dan perinatal di Indonesia. PEB diklasifikasikan kedalam penyakit hypertensi yang disebabkan karena kehamilan. PEB ditandai oleh adanya hipertensi sedang-berat, edema, dan proteinuria yang masif. Penyebab dari kelainan ini masih kurang dimengerti, namun suatu keadaan patologis yang dapat diterima adalah adanya iskemia uteroplacentol.
Diagnosis dini dan penanganan adekuat dapat mencegah perkembangan buruk PER kearah PEB atau bahkan eklampsia penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan anak. Semua kasus PEB harus dirujuk ke rumah sakit yang dilengkapi dengan fasilitas penanganan intensif maternal dan neonatal, untuk mendapatkan terapi definitif dan pengawasan terhadap timbulnya komplikasi-komplikasi.
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan secara rutin mencari tanda preeklampsia sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat, di samping pengendalian terhadap faktor-faktor predisposisi yang lain
Preeklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Pre-eklampsia adalah hipertensi disertai proteinuri dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi. Preeklampsia hampir secara eksklusif merupakan penyakit pada nullipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrem yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun. Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan berikut :
1)                  Kehamilan multifetal dan hidrops fetalis.
2)                  Penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus.
3)                  Penyakit ginjal.



1.2      Tujuan
A.     Tujuan Umum
Menganalisa hubungan antara beberapa faktor risiko terhadap terjadinya pre-eklampsia pada saat kehamilan
B.     Tujuan Khusus
a.       Mengukur besar risiko faktor umur ibu hamil terhadap terjadinya preeklampsia berat
b.      Mengukur besar risiko paritas terhadap terjadinya preeklampsia berat.
c.       Mengukur besar risiko jarak kehamilan terhadap terjadinya preeklampsia berat
d.      Mengukur besar risiko kehamilan ganda terhadap terjadinya preeklampsia berat.























BAB II
PEMBAHASAN


2.1      Pengertian
Preeklampsia atau sering juga disebut toksemia adalah suatu kondisi yang bisa dialami oleh setiap wanita hamil. Preeklampsia adalah kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan dalam masa nifas yang terdiri dari trias : hipertensi, proteinuri, dan edema.
Pengertian preelamsia menurut beberapa referensi :
A.    Preeklampsia adalah perkembangan hipertensi, protein pada urin dan pembengkakan, dibarengi dengan perubahan pada refleks (Curtis, 1999).
B.     Preeklampsia adalah suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria (Bobak, dkk., 2005).
C.     Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).
D.    Pre eklamsi adalah timbulanya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia 20 minggu atau segera setelah persalinan (Mansjoer dkk, 2000).  
E.     Pre eklamsi merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal.


2.2      Etiologi
Etiologi penyakit preeklamsia sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori – teori dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Oleh karena itu disebut “penyakit teori” namun belum ada memberikan jawaban yang memuaskan. 
Preeklampsia ialah suatu kondisi yang hanya terjadi pada kehamilan manusia. Tanda dan gejala timbul hanya selama hamil dan menghilang dengan cepat setelah janin dan plasenta lahir. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan menderita preeklampsia.
Preeklampsia umumnya terjadi pada kehamilan yang pertama kali, kehamilan di usia remaja dan kehamilan pada wanita diatas 40 tahun. Faktor resiko yang lain adalah :
·         Riwayat kencing manis, kelainan ginjal, lupus atau rematoid arthritis
·         Riwayat tekanan darah tinggi yang khronis sebelum kehamilan.
·         Kegemukan.
·         Riwayat mengalami preeklampsia sebelumnya.
·         Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan.
·         Mengandung lean alirbih dari satu orang bayi.
·         Gizi buruk
·         Gangguan aliran darah ke rahim.
Akan tetapi, ada beberapa faktor resiko tertentu yang berkaitan dengan perkembangan penyakit: primigravida, grand multigravida, janin besar, kehamilan dengan janin lebih dari satu, morbid obesitas.
Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama. Preeklampsia terjadi pada 14% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari satu dan 30% pasien mengalami anomali rahim yang berat. Pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden dapat mencapai 25%. Preeklampsia ialah suatu penyakit yang tidak terpisahkan dari preeklampsia ringan sampai berat, sindrom HELLP, atau eklampsia (Bobak, dkk., 2005).


2.3      Patofisiologi
Pada pre eklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus. Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat dilakui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh mengalami spasme, maka tenanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi.
Sedangkan kenaikan berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi perubahan pada glomerulus (Sinopsis Obstetri, Jilid I, Halaman 199).
Patofisiologi pre eklamsi-eklamsi setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi penurunan resistensi vaskular sistemik (systemic vascular resistance[SVRI]), peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid.
 Pada pre eklamsi volume plasma yang beredar menurun sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Perubahan ini membuat organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun.
Vasospasme merupakan akibat peningkatan sensifitas terhadap tekanan peredaran darah, seperti angiotensin II dan kemungkinan suatu ketidakseimbagan antara prostasiklin prostaglandin dan tromboksan A2.
Selain kerusakan endotelial vasospasme arterial menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Keadaan ini meningkatkan edema dan lebih lanjut menurunkan volume intravaskular, mempredisposisi pasien yang mengalami pre eklamsi mudah mengalami edema paru.
Hubungan sistem imun dengan pre eklamsi menunjukkan bahwa faktor-faktor imunologi memainkan peran penting dalam pre eklamsi. Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin bisa membangkitkan respon imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh peningkatan insiden pre eklamsi pada ibu baru dan ibu hamil dari pasangan baru (materi genetik yang berbeda).
Predisposisi genetik dapat merupakan faktor imunologi lain. Frekuensi pre eklamsi dan eklamsi pada anak dan cucu wanita yang memiliki riwayat eklamsi, yang menunjukkan suatu gen resesif autoso yang mengatur respon imun maternal.
Patofisiologi preeklampsia mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) dengan menginduksi edema otak dan meningkatkan resistensi otak. Komplikasi meliputi nyeri kepala, kejang, dan gangguan penglihatan (skotoma) atau perubahan keadaan mental dan tingkat kesadaran. Komplikasi yang mengancam jiwa ialah eklampsia atau timbul kejang (Bobak, dkk., 2005).

2.4      Patologi
Berbagai teori mengenai asal preeklampsia telah diajukan, tetapi baru-baru ini tidak terdapat penjelasan yang lengkap tentang penyebab gangguan ini. Respons imun abnormal, gangguan endokrin, predisposisi genetik, kelebihan atau kekurangan nutrisi, dan gangguan ginjal semua diajukan sebagai berperan pada terjadinya preeklampsia.
Banyak sumber menyetujui bahwa penyebab preeklampsia adalah multifaktor antara lain nulipara, usia maternal lebih dari 35 tahun, usia ibu kurang dari 18 tahun, riwayat keluarga hipertensi akibat kehamilan (HAK), dan riwayat HAK pada kehamilan sebelumnya.
Vasospasme paling mungkin sebagai penyebab proses penyakit. Ketika vasospasme berlanjut, terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah, yang mengakibatkan mengalirnya trombosit dan fibrin ke dalam lapisan subendotel dinding pembuluh darah. Hal ini diketahui bahwa ibu yang mengalami preeklampsia mempunyai sensivitas pada angiotensin II, yang dianggap menjadi kontributor utama untuk proses vasospasme. Vasokonstriksi juga berperan pada kerusakan sel darah merah ketika melewati diameter pembuluh darah yang bgerkurang ukurannya. Vasospasme akhirnya menimbulkan hipoksia jaringan lokal pada berbagai sistem organ, termasuk plasenta, hati, paru, otak, dan retina. Vasospasme serebral berperan pada gejala sakit kepala dan gangguan penglihatan serta dapat berlanjut menjadi stroke.
Vasospasme pada sistem ginjal berperan pada penurunan aliran darah ginjal. Sistem ginjal mengalami pembengkakan sel endotel glomerulus, lumen kapiler glomerulus berkonstriksi, dan filtrasi glomerulus dan selanjutnya menurun. Karena penurunan filtrasi, nitrogen urea darah serum, kreatinin, dan natrium meningkat; dan haluaran urin menurun. Retensi natrium selanjutnya sensivitas terhadap angiotensi II dan peningkatan volume cairan ektra seluler. Pada kasus berat, vasospasme dan pembentukan trombus arterial dapat menimbulkan nekrosis korteks renal. 
Terjadinya edema umum karena kerusakan dinding pembuluh darah dan retensi cairan sekunder akibat penurunan filtrasi glomerulus. Ketika cairan bergeser dari ruang intravaskular ke ektravaskular terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi. Hal ini pada gilirannya menempatkan kebutuhan pada jantung sebagai presoreseptor pada organ mayor memberi umpan balik untuk meningkatkan curah jantung. Riset tentang curah jantung pada preeklampsia masih menjadi konflik.
Beberapa penelitian telah menetapkan penurunan curah jantung yang dikaitkan dengan peningkatan tahanan vaskular perifer, sedangkan penilitian lain menemukan bahwa beberapa ibu dengan preeklampsia secara nyata mengalami peningkatan curah jantung dan penurunan tahanan perifer sampai penyakit menjadi berat.
Disfungsi hati pada preeklampsia dapat direntang dari perubahan enzim ringan sampai edema hepatik, edema subkapsular, atau hemoragi. Perubahan berat dapat terjadi sebagai nyeri kuadran kanan atas. Bila edema hepatik mewakili derajat edema umum yang mencakup edema serebral, nyeri kuadran kanan atas sering dikaitkan dengan derajat edema serebral yang mengakibatkan aktivitas kejang (eklampsia).
Kerusakan dinding pembuluh darah, dan kebocoran produk darah ke dalam ruang ektravaskular akhirnya menimbulkan koagulopati konsumtif serupa dengan koagulasi intravaskular diseminata. Mekanisme trombositopenia yang tampak pada preeklampsia tidak dipahami dengan baik. Satu teori adalah bahwa kerusakan endotel dikaitkan dengan agregasi dan destruksi tombosit. Gangguan mekanisme pembekuan normal dapat menimbulkan hemoragi dan kematian.
Beberapa ibu yang mengalami preeklampsia berlanjut mengalami sindrom HELLP, yang dikaitkan dengan progresi cepat proses patologis dan mengakibatkan hasil janin dan maternal sebaliknya. Ibu yang mengalami sindrom HELLP kemungkinan menunjukkan subset individual yang mengalami disfungsi endotel lebih berat, dan dianggap bahwa predisposisi ini mungkin bersifat genetik.
Disamping efek tidak langsung penurunan perfusi maternal pada janin, proses vasospasme juga secara langsung mempengaruhi plasenta. Lesi plasenta yang adalah akibat infrak selanjutnya menurunkan perfusi ke janin, yang menimbulkan intrauterine growth restriction (IUGR) dan hipoksia. Komplikasi yang dikaitkan dengan preeklampsia berat meliputi gangguan plasenta, gagal ginjal akut, abrupsio retina, gagal jantung, hemoragi serebral, IUGR, dan kematian maternal dan janin (Walsh, 2008).

2.5      Diagnosis
Diagnosis preeklampsia dilakukan pada setiap kali pemeriksaan prenatal dengan mengukur tekanan darah ibu dan menguji protein urine. Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu (Prawirohardjo, 2008).
§  Hipertensi : sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia.
§  Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dipstik.
§  Edema :edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka, dan perut, edema generalisata.
Prawirohardjo (2008) menjelaskan bahwa diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum dibawah ini. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :
a.       Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat dirumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
b.      Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c.       Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d.      Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e.       Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.
f.       Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson).
g.      Edema paru-paru dan sianosis.
h.      Hemolisis mikroangiopatik.
i.        Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
j.        Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
k.      Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.
l.        Sindrom HELLP (Prawirohardjo, 2008).
Perlu diperhatikan bahwa tingginya tekanan darah bukan merupakan penentu utama klasifikasi berat atau ringannya PE.
Dari : Cunningham FG et al : Hypertensive Disorder In Pregnancy in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005

2.6      Pencegahan
Preeklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Pencegahan yang dimaksud ialah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada perempuan hamil yang berisiko terjadinya preeklampsia (Prawirohardjo, 2008). Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi angka kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Untuk dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan urin untuk menetukan proteinuria. Untuk mencegah kejadian preeklampsia ringan dapat dilakukan nasehat tentang dan berkaitan dengan preeklampsia :
a.       Diet makanan. Makanan tinggi protein, rendah karbohidrat, cukup vitamin, rendah lemak. Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna.
b.      Cukup istirahat. Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya dan disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring kea rah punggung janin sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
c.       Pengawasan antenatal. Bila terjadi perubahan peraan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian :
1.      Uji kemungkinan preeklampsia :
a).    Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya
b).    Pemeriksaan tinggi fundus uteri
c).    Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema
d).   Pemeriksaan protein dalam urine
e).    Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum, dan pemeriksaa retina mata.
2.      Penilaian kondisi janin dalam rahim 
a).    Pemeriksaan tinggi fundus uteri
b).    Pemeriksaan janin : gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin, pemantauan air ketuban
c).    Usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi (Curtis, 1999).

2.7      Penanganan 
Upaya pengobatan ditujukan untuk mencegah kejang, memulihkan organ vital pada keadaan normal, dan melahirkan bayi dengan trauma sekecil-kecilnya pada ibu dan bayi.
Segera rawat pasien di rumah sakit. Berikan MgSO4 , dalam infuse Dextrosa 5% dengan kecepatan 15-20 tetes per menit. Dosis awal MgSO4  2 g intravena dalam 10 menit selanjutnya 2 g/jam dalam drip infuse sampai tekanan darah stabil 140-150/90-100 mmHg. Ini diberikan sampai 24 jam pasca persalinan atau dihentikan 6 jam pasca persalinan ada perbaikan nyata ataupun tampak tanda-tanda intoksikasi. Sebelum memberikan MgSO4 perhatikan reflek patella, pernapasan 16 kali/menit. Selama pemberian parhatikan tekanan darah, suhu, perasaan panas, serta wajah merah. Berikan nefidipine 3-4 x 10 mg oral (dosis maksimum 80 mg/hari), tujuannya adalah untuk penurunan tekanan darah 20% dalam 6 jam. Periksa tekanan darah, nadi, pernapasan tiap jam. Pasang kateter kantong urin setiap 6 jam.
PE Berat memerlukan antikonvulsi dan antihipertensi serta dilanjutkan dengan terminasi kehamilan.
Tujuan terapi pada PE:
1.      Mencegah kejang dan mencegah perdarahan intrakranial
2.      Mengendalikan tekanan darah
3.      Mencegah kerusakan berat pada organ vital
4.      Melahirkan janin yang sehat
Terminasi kehamilan adalah terapi defintif pada kehamilan > 36 minggu atau bila terbukti sudah adanya maturasi paru atau terdapat gawat janin.
Penatalaksanaan kasus PEB pada kehamilan preterm merupakan bahan kontroversi.Pertimbangan untuk melakukan terminasi kehamilan pada PEBerat pada kehamilan 32 – 34 minggu setelah diberikan glukokortikoid untuk pematangan paru.
Pada PEBerat yang terjadi antara minggu ke 23 – 32 perlu pertimbangan untuk menunda persalinan guna menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
Terapi pada pasien ini adalah :
1.            Dirawat di RS rujukan utama (perawatan tersier)
2.            MgSO4
3.            Antihipertensi
4.            Kortiskosteroid
5.            Observasi ketat melalui pemeriksaan laboratorium
6.            mengakhiri kehamilan bila terdapat indikasi
Terminasi kehamilan sedapat mungkin pervaginam dengan induksi persalinan yang agresif. Persalinan pervaginam sebaiknya berakhir sebelum 24 jam. Bila persalinan pervaginam dengan induksi persalinan diperkirakan melebihi 24jam, kehamilan sebaiknya diakhiri dengan SC

2.8     Asuhan Keperawatan
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. R  DENGAN MASALAH
PREEKLAMSIA BERAT

Tanggal masuk   : 9 Mei 2011
Tanggal pengkajian : 11 Mei 2011
Dx medis : PEB
A.    PENGKAJIAN
1.   Biodata
a.             Identitas klien
Nama : Ny.R
Umur : 32 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Kristen Protesttan
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Suku bangsa :
Alamat :
b.      Identitas penanggung jawab
Nama : Tn.s
Umur : 34 th
Jenis kelamin : laki laki
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SLTA
Pekerjaan : swasta
Suku bangsa :
Alamat :
Hub dg klien : suami
2.   Riwayat Kesehatan.
a.       Keluhan utama: mengeluh mual muntah
b.      Riwayat kesehatan sekarang: klien mengeluh nyeri kemudian di bawa ke RS untuk menjalani perawatan medis

c.       Riwayat kesehatan dahulu:
d.      Riwayat kesehatan keluarga: ibu klien mengatakan dalam keluarga tidak ada yang mengalami penyakit yang sama dengan klien.
e.       Genogram: -
f.       Riwayat alergi obat dan makanan: tidak ada alergi obat dan makanan

3.      Pola Fungsi Kesehatan
    1. Persepsi terhadap kesehatan: ibu klien melihat tanda dan gejala nyeri pada anaknya kemudian langsung membawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan yang optimal.
    2. Pola aktivitas- latihan:
Aktivitas
0
1
2
3
4
Makan


x


Minum


x


Eliminasi


x


Mobilisasi


x


Berpakaian


x



Keterangan:
0 : mandiri
1 : dengan alat Bantu
2 : bantuan orang lain
3 : bantuan orang lain dan peralatan
4 : tergantung total
4.  Pemeriksaan fisik
a.       Aktivitas
Gejala : kelemahan, penambahan berat badan, reflek fisiologis +/+ , reflek patologis -/-.
Tanda : pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka
b.      Sirkulasi
Gejala : penurunan oksegen
Tanda :

c.       Abdomen
Gejala : Inspeksi : Perut membuncit sesuai usia kehamilan aterm, sikatrik bekas operasi ( - ) Palpasi :
Ø Leopold I : teraba fundus uteri 3 jari di bawah proc. Xyphoideus teraba massa besar, lunak, noduler
Ø Leopold II : teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagian – bagian kecil janin di sebelah kanan.
Ø Leopold III : teraba masa keras, terfiksir
Ø Leopold IV : bagian terbawah janin telah masuk pintu atas panggul
Auskultasi : BJA 142 x/1’ regular
Eliminasi
Gejala : proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria
d.      Makanan / cairan
Gejala : peningkatan berat badan, muntah-muntah
Tanda : nyeri epigastrium,
e.       Integritas ego
Gejala : perasaan takut.
Tanda : cemas.
f.       Neurosensori
Gejala : hipertensi
Tanda : kejang atau koma
g.      Nyeri / kenyamanan
Gejala : nyeri epigastrium, nyeri kepala, sakit kepala, ikterus, gangguan penglihatan.
Tanda : gelisah,
h.      Pernafasan
Gejala : vesikuler, Rhonki -/-, Whezing -/-, sonor
Tanda : irama teratur, bising tidak ada
i.        Keamanan
Gejala : jatuh, gangguan pengihatan, perdarahan spontan.
Tanda :
j.        Seksualitas
Gejala : Status Obstetrikus

B.     PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1.      Darah lengkap: trombositopeni
2.      Urin : proteinuria, oliguri
3.      USG

C.    DATA FOKUS
Data subyektif:
·         klien mengatakan mengalami nyeri hebat pada daerah perut
·         P: nyeri berkurang setelah minum obat Q: nyeri berat R: nyeri pada daerah perut
·         S: skala 8 T: nyeri terasa selama 3menit sekali
·         klien mengatakan susah makan karena sering mual muntah
·         klien mengatakan sering merasa haus
Data obyektif:
·         klien tampak pucat, dehidrasi
·         klien tampak kurus, anoreksia, konjungtiva pucat
·         klien tampak lemah, bedrest

D   ANALISA DATA
NO
SYMPTOM
PROBLEM
ETIOLOGI
1.
DS :
DO :
- Dipsnea
- Napas pendek
- Nyeri dada
- batuk
- hemoptisis
- pembesaran limpa
- hipoksia
Pola nafas tidak efektif
Deformitas dinding dada (adanya edema pada paru)
2.
DS: klien mengatakan anaknya mengalami nyeri hebat pada daerah perut P: nyeri berkurang setelah minum obat Q: nyeri berat R: nyeri pada daerah perut S: skala 8 T: nyeri terasa selama 3 menit sekali DO: klien tampak menahan nyeri
Nyeri akut
Agen cidera biologi
3.
DS: klien mengatakan susah makan karena sering mual muntah DO: klien tampak kurus, lemah, anoreksia, konjungtiva pucat
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Ketidakmampuan dalam memasukkan/mencerna makanan karena faktor biologi
4.
DS: ibu klien mengatakan sering merasa haus DO: klien tampak lemah, bedrest, dehidrasi, turgor kulit lambat
Resiko kekurangan volume cairan
Retensi garam dan air
5.
Ds :
Do :
- Pasien selalu merasa ingin BAK (anyang-anyangan)
- Pasien merasa nyeri saat awal setelah BAK
- Dipermukaan saluran kencing bawah (orifisium uretra) merah (eritematus) dan membengkak (oedema)
Gangguan eliminasi urin
Sindroma nefrotik
(penurunan filtrasi)
6.
DS :
DO :
- Pasien tampak lemah
- Skala nyeri 8
- Tampak terpasang kateter
Resiko infeksi
Tindakan invasif

Diagnosa keperawatan dan prioritas masalah
  1. Pola nafas tidak efektif b/d Deformitas dinding dada (adanya edema pada paru)
  2. Nyeri akut berhubungan dengan Agen cidera biologi
  3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Ketidakmampuan dalam memasukkan/mencerna makanan karena faktor biologi
  4. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan retensi garam dan air
  5. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan sindroma nefrotik (penurunan filtrasi)
  6. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasife








ASUHAN KEPERAWATAN PADA Ny. R  DENGAN MASALAH PREEKLAMSIA BERAT
No
Diagnosa
Tujuan
Intervensi
Rasional
Wkt
Implementasi
Evaluasi
1
Pola nafas tidak efektif b/d Deformitas dinding dada (adanya edema pada paru)

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas klien normal dengan kriteria hasil:
Respiratorystatus: Ventilation(0703)
- Respirasi dalam batas normal
- Mudah bernafas
- Tidak ada dipsnea
- TTV normal
- Buka jalan nafas dengan tehnik chin lift

- Posisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
- Identifikasi jika pasien perlu pemasangan alat jalan nafas buatan
- Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan
- Monitor respirasi dan status O2


- Observasi TTV
- Agar memudahkan bernapas dengan lancar
- Untuk memenuhi kebutuhan O2 klien

- Mencegah terjadinya hipoksia


- Untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan
- Untuk mengetahui respirasired dan kebutuhab O2
- Mengetahui keadaan umum klien
09.00



09.10



09.15



09.20



09.30



09.35
1. Membuka jalan nafas dengan tehnik chin lift

2. memposisikan klien untuk memaksimalkan ventilasi
3. mengidentifikasi jika pasien perlu pemasangan alat jalan nafas buatan
4. mengauskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan
5. memonitor respirasi dan status O2

6. mengobservasi TTV
S : -
O : Pola nafas klien lancar
A : Tujuan tercapai, masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
2
Nyeri akut berhubungan dengan Agen cidera biologi

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil:
Pain control (1605)
· Mengenali faktor penyebab
· Menggunakan metode pencegahan
· Menggunakan metode pencegahan non analgetik untuk mengurangi nyeri
· Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan
· Melaporkan gejala pada tenaga kesehatan
· Mengenali gejala-gejala nyeri
· Mencatat pengalaman tentang nyeri sebelumnya
· Melaporkan nyeri yang sudah terkontrol
Keterangan penilaian NOC:
1. Tidak dilakukan sama sekali
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
1. Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi: lokasi, karakteristik, dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi
2. Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga, dengan nyeri kronis
3. Evaluasi tentang keefektifitan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan


4. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan
5. Berikan analgetik sesuai anjuran



6. Beritahu dokter jika tindakan berhasil atau terjadi keluhan
- Mengindikasikan terjadinya komplikasi.







- Dapat membandingkan nyeri yang ada dari nyeri sebelumnya


- Penggunaan persepsi diri/ perilaku untuk menghilangkan nyeri dapat membantu pasien mengatasinya lebih efektif
4. Informasi tentang nyeri dapat membantu dalam menurunkan persepsi nyeri


5.Analgetik diberikan untuk nyeri ringan yang tidak hilang dengan tindakan kenyamanan.
6.Untuk melanjutkan terapi selanjutnya
09.40









09.50





09.55







10.00






10.15





10.20
1. mengkaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi: lokasi, karakteristik, dan onset, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi
2. mengkaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga, dengan nyeri kronis

3. mengevaluasi tentang keefektifitan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan



4. memberikan informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan

5. memberikan analgetik sesuai anjuran



6. memberitaukan dokter jika tindakan berhasil atau terjadi keluhan
S : Klien mengatakan nyeri sudah berkurang
O : wajah klien terlit tidak meringis menahan nyeri
A : Tujuan tercapai, Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
3
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan Ketidakmampuan dalam memasukkan/mencerna makanan karena faktor biologi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan nafsu makan klien normal lagi dengan kriteria hasil:
Nutritional status (1004)
· Stamina,Tenaga
· Kekuatan menggenggam
· Penyembuhan jaringan
· Daya tahan tubuh
· Tidak ada penurunan BB yg berlebih
Keterangan penilaian NOC:
1. Tidak pernah menunjukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Selalu menunjukkan
1. Kaji adanya alergi makanan


2. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
3. Berikan substansi gula


4. Berikan makanan yang terpilih( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
5. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian
1. Untuk mengetahui apakah pasien ada alergi makanan
2. intake fe dapat meningkatkan kekuatan tulang

3. substansi gula dapat meningkatkan energi pasien
4. Untuk memenuhi status gizi pasien


5. Catatan harian makanan dapat mengetahui asupan nutrisi pasien
10.30



10.35



10.40



10.45




11.00
1. mengkaji adanya alergi makanan


2. menganjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
3. memberikan substansi gula


4. memberikan makanan yang terpilih( sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi)
5. memberikan pasien bagaimana membuat catatan makanan hari
S : Klien mengatakan sudah tidak merasa mual
O : Klien sudah tidak terlihat lemas, konjungtiva normal
A : Tujuan tercapai, Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
4
Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan retensi garam dan air
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan klien dapat tidak ada resiko kekurangan volume cairan dengan kriteria hasil:
· Mempertahankan urin output sesuai dengan usia dan BB
· TTV dalam batas normal
· Elastisitas turgor kulit normal
· Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
· Membran mukosa lembab
· Tidak ada rasa haus berlebihan
Keterangan penilaian NOC:
1. Tidak dilakukan sama sekali
2. Jarang dilakukan
3. Kadang dilakukan
4. Sering dilakukan
5. Selalu dilakukan
1. Pertahankan catatan intake output urin yang di buat
2. Monitor adanya status dehidrasi

3. Monitor hasil lab. yang sesuai dengan retensi cairan


4. Monitor TTV



5. Kolaborasi pemberian cairan atau makanan/ infus
6. Monitor status nutrisi

7. Dorong masukan oral
1. Untuk mengetahui perubahan intake output urin klien
2.antisipasi terjadinya dehidrasi berat
3.untuk memberikan tindakan yang sesuai dengan kondisi klien

4.untuk mengetahui keadaan umum klien
5.Untuk memulihkan energi pasien

6. Untuk mengetahui intake nutrisi pasien
7. Mengoptimalkan keadaan pasien agar kembali normal
11.15



11.25


11.30





11.35



11.40



12.00


12.10




1. mempertahankan catatan intake output urin yang di buat

2. memonitir adanya status dehidrasi

3. memonitor hasil lab. yang sesuai dengan retensi cairan



4. memonitor TTV



5. mengkolaborasikan pemberian cairan atau makanan/ infus
6. memonitor status nutrisi

7. mendorong masukan oral
S : Klien mengatakan tidak merasa lemah
O :Tugor kulit normal
A : Tujuan tercapai, Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
5
Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan sindroma nefrotik (penurunan filtrasi)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam eliminasi urin klien dalam rentang normal dengan urinary elimination kriteria hasil :
- Frekuensi eliminasi urin dalam rentang normal


- Tidak ada bengkak dan memerah pada saluran kemih

- Tidak ada sekret/cairan nanah keluar dari saluran kencing

- Urin tidak mengandung protein glukosa ataupun keton


- Monitor pengeluaran urin termasuk frekuensi, warna, volume, dan senyawa yang terkandung didalamnya
- Monitor tanda dan gejala adanya retensi urin



- Catat waktu pengeluaran urin terakhir

- Ajarkan pasien untuk minum secara lancar yaitu 8 gelas sehari

- Anjurkan klien untuk mengenali adanya ISK yang berkelanjutan
- Untuk mengetahui warna, frekuensi, volume dan senyawa yang terkandung dalam urine yang di keluarkan oleh paisen.
- Untuk mengetahui tanda dan gejala yang terjadi pada pasien pada saat terjadi retensi urine.
- Untuk mengetahui pengeluaran urin pasien
- Untuk membantu pasien dalam memasukkan cairan secara optimal.
- Untuk membantu pasien mengetahui gejala apbila ISK kembali.
12.20







12.30





12.35



12.40




12.50
1. memonitor pengeluaran urin termasuk frekuensi, warna, volume, dan senyawa yang terkandung didalamnya

2. memonitor tanda dan gejala adanya retensi urin



3. mencatat waktu pengeluaran urin terakhir

4. mengajarkan pasien untuk minum secara lancar yaitu 8 gelas sehari

5. mengajarkan klien untuk mengenali adanya ISK yang berkelanjutan
S : -
O : Klien BAK dengan normal
A : Tujuan tercapai, Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi
6
Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasife

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan pasien mampu mengkontrol terjadinya infeksi dengan criteria hasil:
Risk Control (1902)
- faktor resiko dari lingkungan terpantau
- strategi kontrol resiko berkembang dengan efektif
- memonitor perubahan status kesehatan
- melaksanakan strategi kontrol resiko yang terpilih
Skala:
Tidak pernah sampai diperlihatkan
1.tidak diperlihatkan
2.jarang diperlihatkan
3.kadang-kadang diperlihatkan
4.sering diperlihatkan
5.konsisten diperlihatkan
- Pertahankan tehnik isolasi
- Batasi pengunjung bila perlu

- Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
- Pertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat

- Tingkatkan intake nutrisi



- Berikan terapi antibiotic bila perlu
- Untuk mencegah terjadinya infeksi
- Untuk mengurangi resiko infeksi dari pengunjung
- Untuk mencegah penyebaran pathogen terhadap pengunjung


- Untuk mengurangi penyebaran pathogen

- Untuk mempertahankan asupan nutrisi klien

- Antibiotic sebagai pelindung tubuh untuk menolak pathogen yang merugikan bagi tubuh
14.15


14.30


14.40





14.45




14.55




15.00
1. Mempertahankan tehnik isolasi
2. membatasi pengunjung bila perlu

3. mengintruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah berkunjung
4. mempertahankan lingkungan aseptic selama pemasangan alat

5. mmeningkatkan intake nutrisi



6. memberikan terapi antibiotic bila perlu
S : -
O : Tidak terpasang kateter
A : Tujuan tercapai, Masalah teratasi
P : Pertahankan intervensi